Dulu, biasanya aku mampu untuk merasai hal-hal yang ada disekitarku. Seperti hijau daun yang segar, atau daun yang berwarna kuning, bintang yang berkerling, dan juga air sungai yang mengering. Acak saja. Banyak hal yang mungkin terlalu biasa tapi tidak bagi ku. Karena, untukku, setiap peristiwa itu sifatnya indrawi. Ber-rasa dan ber-jiwa. Dan itu, dulu.
Secara personal aku meminta maaf pada diriku sendiri. Aku sadar. Sensitive terhadap sesuatu merupkan sifat yang harus dilindungi dan dijaga. Mestinya aku lebih sering berlatih agar sifat ini tetap ada. Aku malah menggeser kecenderungannya dengan sifat malas. Sifat yang bukan hanya sekedar sifat. Tapi sifat yang menjadi aktivitas.
Aku pernah mendengar dari bapak mario teguh, beliau berkata bahwa sebetulnya malas itu bukan suatu ancaman dan normal terjadi dalam diri manusia. Malas itu adalah sifat. Selagi kita menempatkan ia ke dalam kata sifat dan bukan ke dalam kata kerja. Maka, sifat malas ya biasa.
Dulu aku juga sangat suka membaca. Itu dimulai saat aku mulai menyukai sekolah dan semua hal tentangnya. Seperti mengikuti kelas, belajar matematika, mengenal sejarah, pergi ke perpustakaan, bertanya pada guru, diskusi dengan teman dan bermain badminton bahkan kadang-kadang ikut gabung tim volly jika terpaksa. itu terjadi saat zaman smp tepatnya kelas 2. Zaman SMA lebih parah lagi. Hampir aku tdak tertarik dengan dunia olahraga. Yang menarik hanya belajar dan membaca. Apalagi saat tahun pertama. Ketat sekali.
Butuh waktu kurang dari enam tahun. Semua yang ada pada diriku menjadi sifat natural diri. Identitas diri. Dan hanya dengan empat tahun semua sifat itu hilang ditelan bumi. Bukan menjadi lebih baik tapi buruk dan buruk lagi. Bisa dibilang seperti seseorang yang baru. Dan itu beban.